Penguasa Serobot Domain Ulama dalam Masalah Keagamaan
Staf pengajar Fakultan Hukum Universitas Indonesia (UI) Heru Susetyo mengatakan saat ini ada 104 definisi terorisme dan tidak ada satupun yang disepakati dunia internasional.
Alumnus program doktor bidang Human Rights & Peace Studies Mahidol University, Bangkok ini mengutip Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English yang mengartikan kata “terror” sebagai great fear; terrorism atau diartikan sebagai use of violance and intimidation; dan terrorist diartikan supporter of terrorism atau participant in terrorism.
Sementara pers Barat menggunakan frasa war on terrorism untuk menyebut usaha pemerintah kolonial Inggris membereskan kelompok Yahudi pembangkang di Palestina pada akhir tahun 1940.
“Namun setelah Negara Yahudi Israel berdiri pada 1948, mereka menggunakan label ‘’teroris’’ untuk menyebut gerakan perlawanan Palestina menentang penjajahan Israel,” demikian ujar Heru dalam acara Muzakarah Serantau yang digelar oleh Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia (Yadim) dan Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia di Jakarta hari Kamis, 9 April 2015.
Muzakarah yang diikuti 50 ulama dan da’i serta intelektual Muslim dari kedua Negara ini mempertanyakan stigma dan label ‘teroris’ dan ‘radikal’ pada kaum Muslim. [Baca: Ulama dan Intelektual Gugat Stigma ‘Teroris’ dan ‘Radikal’ pada Kelompok Muslim]
Sementara Fahmi Salim dari MIUMI mencontohkan kasus co-pilot Germanwings Andreas Lubitz yang sengaja menjatuhkan pesawat terbang yang dikemudikannya, tidak disebut ‘’teroris’’ oleh pers.
Ini akan lain kalau pelakunya Muslim atau penampilannya berciri seperti pemeluk Islam.
“Pasti akan disebut teroris atau dikait-kaitkan dengan terorisme,’’ katanya.
Wakil Sekjen MIUMI itu juga meluruskan pengertian kata ‘’radikal’’. Menurutnya, kata radikal tidak selalu bermakna negatif.
“Radikal dalam beragama, yaitu memiliki kidah yang kuat menghunjam, itu justru suatu keharusan,’’ katanya.
Sedang sikap radikal negatif adalah yang disertai violence (kejahatan) atau vandalisme (kebrutalan).
SementaraWakil Sekjen MUI Pusat Natsir Zubaidi juga menambahkan, para pahlawan Indonesia adalah tokoh-tokoh radikal.
Sebut saja Pangeran Diponegoro, Cut Nya’ Dien, Sultan Ageng Tirtayasa dan sebagainya. Jadi, tandasnya, kemerdekaan NKRI diperjuangkan oleh para pahlawan yang disebut radikal itu.
Dosen STID M Natsir Dr Jeje Zaenuddin mengatakan, saat ini penguasa cenderung menyerobot domain (ranah) para ulama dalam pemahaman tentang keagamaan. Akibatnya, muncullah istilah-istilah ‘teorisme’, ‘radikal’, dan ‘ekstrimisme’ yang distempelkan secara keliru kepada umat Islam.
“Kasus pemblokiran situs-situs Islam yang dilakukan secara ngawur tanpa konsultasi dengan MUI, itu menujukkan bahwa negara menyerobot kewenangan ulama,’’ ujar Jeje memberi contoh.
Agama Kristen juga terang-terangan menganut militansi dan radikalisme spiritual. Misalnya seperti yang tertuang dalam buku berjudul “Kami Mengalami Yesus di Bandung” (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011).
Dalam buku itu, penulis, Daniel H Pandji, yang juga Koordinator Jaringan Doa Nasional, memberikan komentar, “Buku ini menguak suatu kebenaran sejarah yang sangat penting bagaimana saat ini banyak pemimpin-pemimpin rohani yang telah menyebar ke seluruh bangsa bahkan berbagai belahan dunia, hal itu dimulai dari gerakan doa yang militan pada tahun 1980 an, lalu memunculkan gerakan penginjilan yang menyentuh berbagai bidang. Buku ini harus dibaca oleh orang-orang yang mau memiliki semangat untuk mengubahkan bangsa,” begitu tulisnya dikutip Jeje.
Kelompok Kristen ini menurut Jeje, menyatakan kebanggaannya, bahwa saat ini, telah muncul anak-anak muda Kristen yang “dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal.” (hal. 23).
Mereka memiliki sikap radikal dalam beberapa aspek: radikal dalam pemberian, berdoa, membayar harga (risiko), kekudusan hidup, memberitakan Injil, dan memberikan waktu untuk pelayanan (hal. 23-26).
Oleh karena itu pada butir keempat resolusi, para ulama, da’i dan intelektual Indonesia-Malaysia menyatakan, penanggulangan gejala ekstrimisme terutama oleh penguasa harus dengan pendekatan berdasarkan pengertian dan pemahaman yang tepat tentang ekstrimisme.
Kara itu para ulama dalam pertemuan ini meminta semua pihak tak terburu-buru dan kelewat batas sehingga menyasar kepada korban yang tidak semestinya.*/Nurbowo (Hidayatullah.com)
0 Response to "Penguasa Serobot Domain Ulama dalam Masalah Keagamaan"
Posting Komentar