PETRAL, Korban Baru Tata Laksana Pencitraan Rezim Jokowi


Sorak-sorai dari orang-orang, yang kebanyakan awam, soal pembubaran PETRAL (Pertamina Energy Trading Limited) yang berkedudukan di Singapore, sontak membahana. Inilah semacam salah satu pemenuhan janji politik rezim Joko Widodo dalam "memberantas" mafia migas. Juga, untuk memuaskan orang-orang awam yang suaranya didapat sebagai buah dari mengkampanyekan bahwa orang-orang "mafia" migas berada di kubu Prabowo Subianto, lawan politik Joko Widodo.

Apa itu PETRAL? Apa fungsinya, dan milik siapa? Dan, burukkah performanya sebagai sebuah Limited (Perusahaan Terbatas di negeri orang)?

Kalau mendengar PETRAL, orang awam kebanyakan langsung terasosiasi ke kata "Mafia Migas", "Sarang Mafia", "bikin harga BBM menjadi mahal"... tanpa mereka menelisik jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas.

Pertamina, sebagai sebuah perusahaan skala besar, tentu tidak bisa mengurusi satu persatu entitas usaha pada bidangnya secara langsung. Pertamina bertanggung jawab pada semua upaya penemuan cadangan migas (eksplorasi), pengangkatan migas dari perut bumi (eksploitasi), pengolahan (refinery, pengilangan), distribusi ke seluruh SPBU di seluruh Indonesia, sampai ke penyerahan minyak ke tangki kendaraan/gas ke tabung rakyat.

Dalam menjalankan tugas-tugas berantai panjang itu, Pertamina bermitra dengan pihak lain. Mulai dari tukang bor dari luar negeri bernama Chevron, Caltex, Shell sampai ke Haji Kodir pemilik armada mobil tangki dan Tuan Liem Swie Kong pemilik pompa bensin. Adalah suatu kewajaran kemitraan tersebut mengingat itulah mungkin yang paling efisien bagi Pertamina.

Selain rantai di atas, Pertamina juga ketiban kewajiban untuk memasarkan migas dari dalam negeri ke para pembeli luar negeri. Sebaliknya, Pertamina juga harus mencari migas dari luar negeri untuk menutupi kebutuhan rakyat Indonesia yang ternyata sekarang ini melebihi dari kapasitas produksi dalam negeri.

Untuk itu, Pertamina membentuk anak usaha dagang khusus untuk fokus pada hal ini. Itulah PETRAL. Mengapa di Singapura? Lha, ibarat jalur angkot, Singapura itu terminal untuk kawasan Asia Tenggara. Di sana berkumpul ribuan pedagang minyak antar-negara.

Kinerja PETRAL sangat bagus. Penatalaksanaan pengadaan migas mereka adalah salah satu yang terbaik versi otoritas Singapura. Pemerintah Singapura bahkan memberi insentif pajak bagi PETRAL agar perusahaan ini tetap betah berkantor di sana.

Sekarang, kalaulah PETRAL menjadi sarang mafia, harusnya mafia-nya yang dibekuk. Bukan PETRAL nya yang sudah puluhan tahun itu yang dibubarkan. Itu pun kalau benar ada mafia di sana. Benarkah ada mafia? Lha, kalau anda seorang pebisnis, katakanlah pebisnis cabe dan tomat di sebuah pasar tradisional selama puluhan tahun, dan anda kuat serta mengakar di pasar tersebut, apakah dengan demikian anda berarti mafia?

Pembubara PETRAL, bagi saya, adalah dagelan dengan bonus khusus. Pertama: ya seperti saya sebut di atas, pemenuhan pencitraan.

Kedua, alias bonusnya: membuka jalan bagi kroni untuk masuk ke bisnis basah licin mengasyikkan pengadaan migas... karena Indonesia dalam jangka panjang akan tetap berstatus nett-importer (punya migas tapi tetap harus ngimpor untuk menutupi kebutuhan dalam negeri).

Licin dan enak... dan bonus ini bisa diambil tanpa rasa berdosa atas dasar ayat sakti "winner takes all".

Selamat tertipu!

(Canny Watae)


0 Response to "PETRAL, Korban Baru Tata Laksana Pencitraan Rezim Jokowi"

Posting Komentar