Percik Harokah, 'Merasa'


Merasa

Dulu, para pendahulu banyak menyajikan cerita amal mereka karena mereka merasa kurang, takut, khawatir, atau karena mereka mengerti tentang ketidakpastian menghadapi peradilan dan penghitungan Allah.

Mereka tadaburi ayat-ayatNya sambil berharap pada keridhaanNya.
Mereka shalat dengan khusyuk penuh pengharapan sambil terus mencoba mengikis situasi ketidakpastian.
Mereka berlapar-lapar sambil berharap itu berguna dan menyelamatkan mereka kelak.
Mereka sedikit tertawa dan banyak menangis dalam kesadaran penuh tentang riskannya nasib mereka kelak.

Sedekah mereka luar biasa karena mereka tahu pasti bahwa sedekah-sedekah itu tak seberapa.
Dakwah dan jihad mereka sangat menginspirasi hingga kini karena mereka tahu bahwa dakwah dan jihad itu adalah urusan pertanggungjawaban padaNya.

Malam-malam mereka hidup dan meriah dengan doa-doa mereka dan harapan-harapan mereka karena mereka mengerti betapa lemahnya mereka.

Tulisan-tulisan, hikmah, dan keteladanan mereka sangat bernas karena mereka tahu arti betul Allah menatap lekat semua mereka. Begitu juga lainnya.

Dulu.

Sekarang, kita lakukan sebagian kecil itu dengan kualitas ala kadarnya tapi dengan keyakinan bahwa kita sudah benar, sudah tepat, sudah beres, dan sangat patut dicontoh.

Bismillahilladzi laa yadlurruu ma'asmihi syai'un fil ardhi wa laa fissamaa wa huwassamii'ul 'aliim.

Jakarta, 5 Mei 2015

Eko Novianto

0 Response to "Percik Harokah, 'Merasa'"

Posting Komentar