Kisah HAMKA dan Pembreidelan Media Islam


Buya Hamka (kiri) dan majalah Pandji Masjarakat edisi 16 (01/02/1960)

Oleh Eri Muriyan

Jelang tahun kedua kehadiran madjalah Pandji Masjarakat, Oktober 1960, pada edisi no. 32, ia terpaksa berhenti. Oleh penguasa ia dibreidel, diberangus, dan tidak boleh terbit lagi bersama sekalian surat kabar serta madjalah lain yang tak sedia jadi corong penguasa terkultus seorang. Protes pada masa itu hanya akan memperberat beban. Tetapi ia memilih, merasa lebih baik diberhentikan terbitnya daripada terbit terus padahal mendustai dirinya sendiri dan mengeluarkan apa yang tidak terasa dalam hati sanubarinya.

Para pengasuh madjalah ini difitnah dan ‘diistirahatkan’. Sang nahkoda, HAMKA, suatu siang jelang sholat dzuhur dijemput polisi di rumahnya, dituduh macam-macam dan akhirnya dipenjarakan dalam waktu yang lama, tidak pasti sampai kapan. Tetapi ternyata ada hikmah besar disana kemudian, bersama kesunyian ruang tahanan itu beliau malah bisa dengan khusyuk bermesraan berdua dengan Rabbnya. Khattam membaca Al-Quran lebih dari 100 kali. Sholat tahajud hampir setiap malam. Menghabiskan buku-buku penting tentang Tasawuf, Tauhid, Tafsir, Filsafat Agama, Hadis-hadis Rasulullah, Tarikh perjuangan-perjuangan Islam, dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama.

Begitu pula dengan kawan beliau yang lain, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap S.H., Asaat S. H., Prawoto Mangkusasmito, Moh. Rum S.H., Isa Anshari, E.Z. Muttaqin, Junan Nasution, H. Kasman Singodimedjo, dan lain-lain, mereka juga merasakan suasana ruang tahanan.

Hikmah yang lebih besar adalah beliau, HAMKA, berhasil menyelesaikan menulis tafsir Al-Azhar 30 juz di dalam kesendirian itu. Tafsir Sayyid Abu Ridha dan Sayyid Quthub adalah dua dari sekian tafsir dan refrensi yang mempengaruhi corak tafsir beliau. Dua tokoh itu memiliki tempat tersendiri di hati HAMKA. Sayyid Quthub menyelesaikan tafsir Fi dzilalil Quran-nya juga dalam balik jeruji besi sebelum beliau syahid di tiang gantungan. Dua tahun empat bulan beliau, HAMKA, ditahan, kemudian dibebaskan. Dalam jangka waktu inilah tafsir Al-Azhar lahir. Lalu setelah HAMKA bebas, disusullah tiga bulan setelahnya oleh Prawoto, Natsir, dan yang lainnya.

Tentang hikmah ini seorang anak dari beliau (HAMKA), pernah mengusulkan agar beliau mencantumkan ucapan terimakasih kepada mereka yang telah menyusun fitnah dan memenjarakan beliau. Sebab karena ditahan dalam penjara itulah beliau dapat mengerjakan tafsir Al-Azhar dengan tenang dan rampung. Tetapi begini jawab HAMKA,  

“Tidak anakku! Ayah tidak hendak berterimakasih kepada mereka itu! Karena terimakasih yang demikian itu akan menambah hasad mereka juga. Bahkan akan mereka katakan Ayah mencemooh kepada mereka karena maksud mereka digagalkan oleh Tuhan. Ayah belumlah mencapai derajat yang demikian tinggi, sehingga mengucapkan terimakasih kepada orang yang aniaya, zalim, hasad, dengki. Atau orang yang memakai kekuasan  yang ada dalam tangan mereka buat melepaskan sakit hati. Ayah akan tetap berpegang pada pendirian Tauhid, yaitu mengucap syukur dan puji-pujian hanya untuk Allah saja. Allah yang maha kuasa atas segala kekuasaan, Allah yang lebih tinggi dari segala macam kebesaran. Allah yang ajaib siasatnya daripada segala siasat manusia. Hanya kepadaNya lah Ayah sampaikan segala syukur dan terimakasih”.

Berkaitan dengan pemblokiran situs-situs Islam akhir-akhir ini, agaknya mirip dengan hal di atas, saya mengutip ucapan ‘terimakasih’ pimpinan redaksi majalah Gontor Adnin Armas dalam acara Tabligh Akbar ‘Jangan Berangus Media Dakwah Kami’ di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran, Jakarta, Jumat (3/4/2015) kemarin,

“Terimakasih pula kepada BNPT, dengan adanya masalah ini media Islam semakin kokoh dan semakin bersatu. Terimakasih juga kepada BNPT, karena dengan memblokir situs-situs Islam, umat Islam Indonesia yang merupakan Muslim terbesar di dunia ini menjadi tersentak, karena diperlakukan seperti minoritas”.

Ucapan ‘terimakasih’ semacam ini tentulah tidak keliru. Hanya saja, nampaknya akan lebih baik bila dipadukan dengan pandangan HAMKA di atas. Kita tegaskan bahwa Allah yang maha kuasa atas segala kekuasaan, Allah yang lebih tinggi dari segala macam kebesaran. Allah yang ajaib siasatnya daripada segala siasat manusia! 

***

Enam tahun setelah madjalah Pandji Masjarakat ini tiada bisa hadir. Dan setelah para pengasuhnya ditahan dan dibebaskan. Akhirnya ia terbit kembali. 5 Oktober 1966, 21 Djumadilachir 1386 H. Mulailah langit kembali Cerah. Kemudian diadakanlah tasyakur di Masjid Agung Al Azahar Kebayoran  Baru, Jakarta, pada 14 Agustus 1966, diawali pidato dan sambutan dari Prawoto dan Natsir, dan saat sholat dzuhur Natsir sebagai Imam sholat. Ternyata kaum muslim yang hadir waktu itu membludak. Tak kurang dari 50.000 jamaah. Mereka menyerbu Natsir dan kawan-kawanya untuk berjabat tangan. Menumpahkan rindu yang menggebu.

Sekarang, media-media Islam harus memilih, terus menyuarakan kebenaran atau memilih diam dan melunak terhadap kesemena-menaan penguasa. Yang pasti kebenaran adalah yang harus terpegang, bukan nafsu atau malah kebencian semata pada penguasa. Dan apapun makar yang dibuat oleh musuh-musuh Allah, makar Allah pastilah jauh lebih ajaib!

***

Beriring setetes air mata membaca madjalah Pandji Masjarakat ini dan beberapa lembar pengantar Tafsir Al-Azhar, terbayang wajah Ustadz Luthfi Hasan Ishaq di  LP Sukamiskin... Terdengar kabar beliau malah senang disana bersama buku-buku dan lingkaran-lingkaran majelis taklim baru. Pernah ada ingin, semoga bisa sowan beliau sebagai silaturahim dan peneguh iman. Terlintas pula bacaan kemarin tentang pengasingan Hatta dan Syjahrir. Dan terakhir terlintas Mohammad Mursi. Mereka orang-orang merdeka!

(Eri Muriyan)


0 Response to "Kisah HAMKA dan Pembreidelan Media Islam"

Posting Komentar